Minggu, 24 Mei 2015

HIJRAH CINTA



Keinginan untuk menikah adalah targetku dari dulu. Hal ini aku targetkan untuk menjalankan sunnah Rasulullah dan niat karena Allah. Sejak masih duduk di bangku kuliah S1, target menikah itu setelah lulus S2.  Alhamdulillah, takdir Allah berkehendak lain. Sebelum lulus S2, aku taaruf dengan salah satu ikhwan konon katanya dia mencari calon istri sholehah yang mampu mendampingi beliau dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dia mencari istri sebelum ditugaskan pada suatu daerah terpencil. Hal itu yang membuatku dilema. Dia adalah orang baik agamanya, dia rela mengorbankan segalanya baik harta, tenaga dan sebagainya demi cintanya kepada Allah. Sementara aku sebagai anak yang terlahir di kota belum yakin mampu mendampingi untuk tinggal di daerah terpencil. Ya,,, pasti banyak perbedaannlah kehidupan desa dengan kehidupan kota.
Sebut namaku Tia, seorang gadis kota yang sekarang tengah menyelesaikan study S2 di salah satu Universitas Makassar. Aku menjadi dilema ketika seorang Ahmad akan segera menhitbahku dalam waktu dekat. Hal yang tidak mampu kuterima, ketika harus ikut suami ke daerah terpencil, yang jaraknya lumayan jauh dari kota tempat tinggalku. Selain itu, aku harus melepas status mahasiswaku yang sekarang sudah berjalan satu semester.
Ketika sang Murobbiahku menawarkan seorang ikhwan yang namanya Ahmad, aku hanya terdiam tanpa kata. Bagaikan mendapat durian runtuh.
“Tia, apakah anti sudah siap menikah? Tanya sang Murobbiah
“ aku sudah siap ustazah” jawab dengan terbata-bata
“ bagus, ,,” kata MR sambil senyum.
“ Ahmad sudah siap menikah dengan anti, besok lusa dia akan melamarmu, aku harap anti shalat istikharoh sebelum memutuskan hal tersebut. Pertimbangkan dengan baik. Dia adalah pejuang di jalan Allah.
oooOOOooo
“ Ya Allah, jika dia jodohku maka lapangkalah dadaku untuk menerimanya dan jika dia bukan jodohku maka jauhkanlah” rintihku di tengan  kesunyian malam.
Doa yang singkat tapi penuh makna.
Hingga akhirnya, sang Ahmad bersama keluarganya pun datang bertamu di rumah orang tuaku.  Dia bermaksud untuk melamarku. Setelah melalui perdebatan dengan keluarga dan teman kerabat, aku akhirnya memutuskan memilihnya walau dalam hati kecil masih ada rasa keberatan. Aku masih ingat kata-kata yang mengatakan bahwa dalam memilih pendamping hidup itu harus dilihat dari agamanya. Tidak ada alasan untuk menolak orang yang beriman kepada Allah. Pemilihan calon suami itu dilihat dari harta, fisik dan agama. Akan tetapi agama harus dinomor satukan.
Keputusan akhir adalah aku siap menjadi istri dari sang Ahmad. Setelah akad nikah berlangsung, Status sudah berubah dari jomblo menjadi status nikah. Artinya sorang istri harus taat kepada suami. Tanggungjawab ayah sudah berpindah kepada suami. Termasuk bersedia ikut suami yang tengah berdakwah di daerah terpencil. Akhirnya yang kukhawatirkan selama ini pun datang. Satu pekan setelah akad nikah, sang suami harus bertugas. Secara otomatis, aku harus ikut suami. Walau dalam hati kecilku masih menyimpan rasa keberatan dan tak tega meninggalkan keluargaku dan tanah tempat kelahiranku. Berkat dukungan dari suami dan teman-teman serta restu dari orang tua akhirnya kuputuskan ikut suami. Aku yakinkan diriku bahwa amanah yang diberikan kepada suami adalah jauh lebih mulia. Keputusan tersebut berujung juga harus berhijrah dari kotaku yang tercinta. Selain itu, aku harus meninggalkan kuliahku yang sudah berjalan satu semester. Semua itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dakwah.
Sebelum berangkat, aku berusaha luruskan niat bahwa semua kulakukan bukan hanya untuk mengikuti keinginan sang suami tetapi karena cinta Allah. Kuhapus semua rasa keraguanku.
 Kehidupan desa dengan kota memang sangat berbeda apalagi di daerah terpencil. Akses transportasi, penerangan komunikasi dan lain-lain belum lancar. Hidup di desa itu adalah suasana baru bagiku. Aku harus beradaptasi dengan lingkugan baru, dengan orang-orang yang baru. Bahasa sehari-hari yang digunakan pun berbeda.
Di desa ini, semua serba manual. Cahaya penerangan masih menggunakan lampu tradisonal yaitu pelita. Akan tetapi hati akan terasa teang ketika anging bertiup sepoi-sepoi, tampak pepohon yang hijau dan sungai mengalir tenang nan jernih. Akan tetapi aku tidak semudah membalikkan tangan menerima semua itu.
Ada beberapa hal yang menggajal di hati, walau masyarakat sekitar ramah dan sopan tetapi pengetahuan tentang Islam masih sangat minim. Masih banyak yang menyekutukan Allah seperti membawa sesajen ke sungai, melepas ayam putih pada pohon yang dianggap keramat. Selain itu, masih sering terjadi pencurian, judi adalah pekerjaan utama dan minuman keras adalah minuman sehari-harinya. Aku terkadang mengeluh dengan keadaan seperti ini. Ingin rasanya segera pulang.
Alhasil, sang suami tidak pernah kehabisan akal untuk memberi motivasi.
" Dindaku sayang, itu semua adalah ladang amal kita, kita harus berjuang untuk membajaknya agar kelak hasilnya akan berlimpah ruah. Allah tidak akan pernah tidur untuk mencatat segala sesuatu yang kita lakukan. Janji Allah itu adalah pasti ,  niatkanlah semua itu karena Allah. Semoga hijrah kita dapat menghijrahkan masyarakat desa ini menjadi lebih baik dan sesuai dengan prinsip Islam" celoteh Sang suami dengan lembut.
Aku hanya mengangguk tanda setuju.
Sang suami pun tersenyum bahagia.
Awal dari kehidupan ini sangat berat untuk dipikul. Kami berpikir sejenak, langkah awal apa yang harus dilakukan agar masyarakat dapat berubah.
Tiba- tiba sang suami terbagun dari lamunannya
" Oo. Iya. Kita punya uang sedikit, mungkin cukup untuk membeli tanah sebagai usaha pencangkokan. Masyarakat yang berminat dipekerjakan mulai pukul 07.00-17.00. Jam istirahatnya adalah isoma. Secara otomatis, mengurangi waktunya untuk judi dan mencari minuman keras. Untuk mencegah pencurian yang merajalela, diadakan ronda yang bergiliran. Setiap malam, aku harus memantau ronda dan menyelipkan pembicaraan mereka dengan tausiah" cerita sang suami.
"wah, itu ide yang bagus sayang" kataku menyemangati sang suami.
Step by step dijalani, alhamdulillah  ternyata berhasil.
Beberapa bulan berjalan,  aku mulai enjoy dengan masyarakat yang ramah. Selain itu, aku pun ikut membina ibu-ibu yang masih membutuhkan ilmu islam. Walaupun awalanya mereka tidak menerima kami. Hati masih tetap sabar menghadapi semua problema yang muncul. Kami hidup sederhana. Hingga akhirnya suamiku diberi amanah menjadi kepala desa di tempat tersebut.
Perjuangan ini masih panjang, masih banyak rintangan, masih banyak belokan yang harus dilalui. Semoga tetap istiqomah hingga akhirnya ajal menjemput. Perjuangan itu akan berasa jika ada pahit dan manisnya. Alagkah egoisnya kita membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan.

Sabtu, 23 Mei 2015

Cinta Penuh Logika

Cinta itu penuh logika matematika
Cinta penuh perhitungan dan rumus-rumus
Ketika kujabarkan cintaku dengan aljabar linear
Ternyata penyelesaiannya tak trivial
              Kucoba untuk mengintegralkan dengan Integral berlipat-lipat
              dan Kuanalisis dengan sereal-realnya
              kulimitkan menuju tak terhingga
              Ternyata nilainya tak terdefinisi
aku berdiri di sebuah nokhta
merenungi diriku sebagai jomblower
Jodoh memang penuh teka-teki
Kucoba untuk memecahkan dengan teori graph
              Aku berjalan ke segala titik dan sisi
              Nah, kulihat sebuah jejak
              tapi aku harus melintasi berbagai sirkit dan sirkil
              Hingga kutemukan gelung yang begitu dalam
Ketika aku merasakan ada getaran cinta
ada kontak langsung antara sisi hatiku dan hatinya
segera kutandai dengan pewarnaan
Tapi aku masih ragu dengan perasaan ini
             Aku terus mencari networking maksimun dengan E-learning
             Kudesain cintaku dengan desain Blok
             Kuanalisis dengan SPSS
             Kuanimasikan dengan Macromedia
Dengan bahasa yang sederhana
Aku mencoba menerjemahkannya
Kesimpulannya adalah aku harus tetap menunggu...
hahahahahhahahh

Karya: Kelas F Matematika PPs 2014