Keinginan
untuk menikah adalah targetku dari dulu. Hal ini aku targetkan untuk
menjalankan sunnah Rasulullah dan niat karena Allah. Sejak masih duduk di
bangku kuliah S1, target menikah itu setelah lulus S2. Alhamdulillah, takdir Allah berkehendak lain.
Sebelum lulus S2, aku taaruf dengan salah satu ikhwan konon katanya dia mencari
calon istri sholehah yang mampu mendampingi beliau dalam kehidupan dunia maupun
akhirat. Dia mencari istri sebelum ditugaskan pada suatu daerah terpencil. Hal
itu yang membuatku dilema. Dia adalah orang baik agamanya, dia rela
mengorbankan segalanya baik harta, tenaga dan sebagainya demi cintanya kepada
Allah. Sementara aku sebagai anak yang terlahir di kota belum yakin mampu
mendampingi untuk tinggal di daerah terpencil. Ya,,, pasti banyak perbedaannlah
kehidupan desa dengan kehidupan kota.
Sebut
namaku Tia, seorang gadis kota yang sekarang tengah menyelesaikan study S2 di
salah satu Universitas Makassar. Aku menjadi dilema ketika seorang Ahmad akan
segera menhitbahku dalam waktu dekat. Hal yang tidak mampu kuterima, ketika
harus ikut suami ke daerah terpencil, yang jaraknya lumayan jauh dari kota
tempat tinggalku. Selain itu, aku harus melepas status mahasiswaku yang
sekarang sudah berjalan satu semester.
Ketika
sang Murobbiahku menawarkan seorang ikhwan yang namanya Ahmad, aku hanya
terdiam tanpa kata. Bagaikan mendapat durian runtuh.
“Tia,
apakah anti sudah siap menikah? Tanya sang Murobbiah
“
aku sudah siap ustazah” jawab dengan terbata-bata
“
bagus, ,,” kata MR sambil senyum.
“
Ahmad sudah siap menikah dengan anti, besok lusa dia akan melamarmu, aku harap
anti shalat istikharoh sebelum memutuskan hal tersebut. Pertimbangkan dengan
baik. Dia adalah pejuang di jalan Allah.
oooOOOooo
“
Ya Allah, jika dia jodohku maka lapangkalah dadaku untuk menerimanya dan jika
dia bukan jodohku maka jauhkanlah” rintihku di tengan kesunyian malam.
Doa
yang singkat tapi penuh makna.
Hingga
akhirnya, sang Ahmad bersama keluarganya pun datang bertamu di rumah orang
tuaku. Dia bermaksud untuk melamarku.
Setelah melalui perdebatan dengan keluarga dan teman kerabat, aku akhirnya
memutuskan memilihnya walau dalam hati kecil masih ada rasa keberatan. Aku
masih ingat kata-kata yang mengatakan bahwa dalam memilih pendamping hidup itu
harus dilihat dari agamanya. Tidak ada alasan untuk menolak orang yang beriman
kepada Allah. Pemilihan calon suami itu dilihat dari harta, fisik dan agama.
Akan tetapi agama harus dinomor satukan.
Keputusan
akhir adalah aku siap menjadi istri dari sang Ahmad. Setelah akad nikah
berlangsung, Status sudah berubah dari jomblo menjadi status nikah. Artinya
sorang istri harus taat kepada suami. Tanggungjawab ayah sudah berpindah kepada
suami. Termasuk bersedia ikut suami yang tengah berdakwah di daerah terpencil.
Akhirnya yang kukhawatirkan selama ini pun datang. Satu pekan setelah akad
nikah, sang suami harus bertugas. Secara otomatis, aku harus ikut suami. Walau
dalam hati kecilku masih menyimpan rasa keberatan dan tak tega meninggalkan
keluargaku dan tanah tempat kelahiranku. Berkat dukungan dari suami dan
teman-teman serta restu dari orang tua akhirnya kuputuskan ikut suami. Aku
yakinkan diriku bahwa amanah yang diberikan kepada suami adalah jauh lebih
mulia. Keputusan tersebut berujung juga harus berhijrah dari kotaku yang
tercinta. Selain itu, aku harus meninggalkan kuliahku yang sudah berjalan satu
semester. Semua itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dakwah.
Sebelum
berangkat, aku berusaha luruskan niat bahwa semua kulakukan bukan hanya untuk
mengikuti keinginan sang suami tetapi karena cinta Allah. Kuhapus semua rasa
keraguanku.
Kehidupan desa dengan kota memang sangat
berbeda apalagi di daerah terpencil. Akses transportasi, penerangan komunikasi
dan lain-lain belum lancar. Hidup di desa itu adalah suasana baru bagiku. Aku
harus beradaptasi dengan lingkugan baru, dengan orang-orang yang baru. Bahasa
sehari-hari yang digunakan pun berbeda.
Di
desa ini, semua serba manual. Cahaya penerangan masih menggunakan lampu
tradisonal yaitu pelita. Akan tetapi hati akan terasa teang ketika anging
bertiup sepoi-sepoi, tampak pepohon yang hijau dan sungai mengalir tenang nan
jernih. Akan tetapi aku tidak semudah membalikkan tangan menerima semua itu.
Ada
beberapa hal yang menggajal di hati, walau masyarakat sekitar ramah dan sopan
tetapi pengetahuan tentang Islam masih sangat minim. Masih banyak yang
menyekutukan Allah seperti membawa sesajen ke sungai, melepas ayam putih pada
pohon yang dianggap keramat. Selain itu, masih sering terjadi pencurian, judi
adalah pekerjaan utama dan minuman keras adalah minuman sehari-harinya. Aku
terkadang mengeluh dengan keadaan seperti ini. Ingin rasanya segera pulang.
Alhasil,
sang suami tidak pernah kehabisan akal untuk memberi motivasi.
"
Dindaku sayang, itu semua adalah ladang amal kita, kita harus berjuang untuk
membajaknya agar kelak hasilnya akan berlimpah ruah. Allah tidak akan pernah
tidur untuk mencatat segala sesuatu yang kita lakukan. Janji Allah itu adalah
pasti , niatkanlah semua itu karena
Allah. Semoga hijrah kita dapat menghijrahkan masyarakat desa ini menjadi lebih
baik dan sesuai dengan prinsip Islam" celoteh Sang suami dengan lembut.
Aku
hanya mengangguk tanda setuju.
Sang
suami pun tersenyum bahagia.
Awal
dari kehidupan ini sangat berat untuk dipikul. Kami berpikir sejenak, langkah
awal apa yang harus dilakukan agar masyarakat dapat berubah.
Tiba-
tiba sang suami terbagun dari lamunannya
"
Oo. Iya. Kita punya uang sedikit, mungkin cukup untuk membeli tanah sebagai
usaha pencangkokan. Masyarakat yang berminat dipekerjakan mulai pukul
07.00-17.00. Jam istirahatnya adalah isoma. Secara otomatis, mengurangi
waktunya untuk judi dan mencari minuman keras. Untuk mencegah pencurian yang
merajalela, diadakan ronda yang bergiliran. Setiap malam, aku harus memantau ronda
dan menyelipkan pembicaraan mereka dengan tausiah" cerita sang suami.
"wah,
itu ide yang bagus sayang" kataku menyemangati sang suami.
Step
by step dijalani, alhamdulillah ternyata
berhasil.
Beberapa
bulan berjalan, aku mulai enjoy dengan
masyarakat yang ramah. Selain itu, aku pun ikut membina ibu-ibu yang masih
membutuhkan ilmu islam. Walaupun awalanya mereka tidak menerima kami. Hati
masih tetap sabar menghadapi semua problema yang muncul. Kami hidup sederhana.
Hingga akhirnya suamiku diberi amanah menjadi kepala desa di tempat tersebut.
Perjuangan
ini masih panjang, masih banyak rintangan, masih banyak belokan yang harus
dilalui. Semoga tetap istiqomah hingga akhirnya ajal menjemput. Perjuangan itu
akan berasa jika ada pahit dan manisnya. Alagkah egoisnya kita membiarkan
mereka terjerumus dalam kesesatan.